Kamis, 13 Januari 2011

Harapan Perbaikan Ekonomi 2011

Oleh : Bintang MN

Tahun 2010 sudah berlalu dan kini kita menginjak tahun baru 2011. Segala permasalahan yang terjadi pada tahun 2010 mestinya harus dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran dan koreksi diri dalam menghadapi tahun 2011 ini.

Bagaimanapun hampir selama tahun 2010, beragam persoalan berturut-turut menimpa bangsa ini. Mulai dari bencana alam, bencana politik dan bahkan juga bencana hukum yang kesemuanya menjadi beban dalam perjalanan roda pemerintahan menuju kondisi yang lebih baik.

Kita tentu banyak berharap bahwa di tahun yang baru, segala sesuatunya dapat lebih baik lagi. Termasuk, dalam kinerja perekonomian nasional, sepantasnya pencapaian kinerjanya dapat meningkat secara signifikan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Harapan itu tentu tidak mengada-ada. Pasalnya, Indonesia adalah salah satu negara di dunia bersama Cina dan India yang mempunyai kinerja baik dibandingkan dengan negara-negara lain di tengah memburuknya perekonomian global.

Kita ingin mempertahankan predikat tersebut dan bahkan meningkatkannya secara lebih baik lagi sehingga pencapaian itu tidak sekadar angka-angka, tetapi bisa dirasakan oleh seluruh rakyat. Bank Indonesia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2010 mencapai 6 persen. Pertumbuhan tersebut dinilai jauh lebih baik ketimbang 2009. Pertumbuhan 2010 tersebut diimbangi dengan strukturnya yang lebih berimbang di mana ekspor dan investasi tumbuh lebih kuat.

Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2011 akan terakselerasi dan dapat mencapai 6,0 persen-6,5 persen, selanjutnya pertumbuhan ekonomi 2012 juga meningkat, diperkirakan mencapai 6,1 persen-6,6 persen. Pertumbuhan tersebut didukung konsumsi rumah tangga yang tetap kuat, investasi yang membaik, serta masih solidnya kinerja ekspor seiring dengan masih kuatnya pertumbuhan di negara mitra dagang, terutama di kawasan Asia. Sementara, inflasi pada 2011 dapat diarahkan pada kisaran sasarannya, yaitu 4 persen-6 persen pada 2011 dan 3,5 persen-5,5 persen pada 2012.

Saat menyampaikan nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2011 di depan DPR, 16 Agustus 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi 2011 akan mencapai 6,3 persen.

Pada perjalanannya, pemerintah mengubah pertumbuhan 2011 itu menjadi 6,4 persen. Perubahan asumsi tersebut telah mempertimbangkan proses pemulihan ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa yang tidak seperti diperkirakan dengan kemungkinan pertumbuhan investasi, ekspor, serta konsumsi domestik yang membaik. Kita tentu menyambut baik keyakinan pemerintah akan kemampuannya untuk mengejar target pertumbuhan yang lebih tinggi, menjadi 6,4 persen.

Namun, pemerintah tentunya telah mempertimbangkan berbagai kendala dan risikonya. Idealnya, pencapaian pertumbuhan tersebut juga telah memperhitungkan dampak terhadap sektor lain, seperti penyerapan tenaga kerja, angka kemiskinan, dan pemerataan di daerah-daerah. Seperti diketahui, salah satu yang sering mendapat perhatian ketika membicarakan pencapaian pertumbuhan adalah penyerapan tenaga kerja.

Lazimnya, satu persen pertumbuhan ekonomi akan menciptakan lapangan kerja buat 400.000 orang. Dengan demikian, dengan pertumbuhan ekonomi 2011 yang dipatok 6,4 persen, berarti akan ada lowongan kerja buat 2,56 juta orang. Namun, elastisitas tenaga kerja semakin menurun, karena setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 200.000 orang tenaga kerja per tahun.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat juga belum mampu meningkatkan kualitas tenaga kerja. Oleh karena itu, kita berharap pertumbuhan ekonomi 2011 tidak sekadar tumbuh pesat dan cepat. Namun, hal-hal lain seperti penyerapan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan tentunya harus tetap menjadi prioritas. Apa artinya pertumbuhan tinggi tetapi tidak bisa dinikmati oleh seluruh rakyat.

Hal yang sama

Selain itu, hal yang sama terkait dengan adanya pertumbuhan yang mengalami perbaikan juga terjadi dalam industri manufaktur. Hal ini didasarkan pada penjelasan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang mengatakan bahwa pertumbuhan industri manufaktur Indonesia terus membaik.

Namun di sisi lain, ada kritik dari lembaga kajian ekonomi Indef. Hasil penelitian lembaga ini mengatakan, meskipun manufaktur menyetor persentase terbesar terhadap Produk Domestik Brutto-yakni sebesar 26,4 persen-tapi pemerintah diharapkan lebih serius menangani sektor manufaktur karena pertumbuhannya sedikit menurun dibanding tahun 2025. Industri manufaktur memang penting bagi kemajuan sebuah bangsa.

Jika dipelajari negara-negara di dunia dan dalam konteks perdagangan internasional, biasanya tingginya daya saing bangsa juga ditentukan oleh kedigdayaan industri manufaktur sebuah negara. Persaingan di industri manufaktur dunia memang sangat ketat, karena semua negara berlomba menjual barang jadi mereka dan tidak mau lagi menjual bahan mentah. Dengan ketatnya persaingan antarnegara dalam perdagangan hasil manufaktur, maka cukup banyak terjadi proteksi, bahkan di negara-negara maju.

Negara maju umumnya hanya mau mengimpor barang mentah dari negara-negara berkembang dan mereka berusaha memenuhi kebutuhan sendiri dalam hal produk-produk manufaktur. Bagi negara berkembang yang lebih belakang masuk ke manufaktur dibanding negara-negara maju, dalam banyak hal memang sulit mengejar negara maju. Hal ini disebabkan oleh start yang memang sudah tertinggal. Jadinya teknologinya ketinggalan, ketersediaan tenaga ahli/profesional juga ketinggalan, soal efisiensi juga menjadi masalah, dan permodalan terbatas.

Negara-negara maju juga malas mengimpor hasil manufaktur dari negara berkembang karena kualitasnya lebih buruk. Negara maju juga tetap ingin menghidupi warga negaranya dengan menggenjot industri manufaktur. Mereka lebih suka mengimpor barang mentah dari negara lain-umumnya negara berkembang-dengan harga murah dan kemudian mereka mengolahnya sendiri menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi.

Maksudnya, selain dari efisiensi dan ingin yang berkualitas, mereka juga harus mempekerjakan warga negaranya yang butuh penghidupan. Dengan demikian, bagi negara-negara berkembang akan selalu dihadapkan kepada kesulitan-kesulitan dan dilema. Misalnya jika mereka mengekspor manufaktur akan cenderung ditolak karena alasan kualitas maupun kejenuhan produk di dalam negara tujuan ekspor tersebut. Mereka berusaha memenuhi kebutuhan rakyatnya akan barang-barang jadi. Mereka lebih suka mengimpor barang mentah dari negara lain.

Bagi negara berkembang, mau tidak mau sering seperti dipaksa untuk menjual/ mengekspor barang-barang atau komoditas mentah mereka. Atau setidaknya setengah jadi, untuk diolah sendiri di negara-negara tujuan. Akibat dari hal ini adalah negara berkembang seperti Indonesia harus menguras sumber daya alamnya untuk diekspor ke negara-negara maju sebagai bahan baku industri.

Pengurasan sumber daya alam ini berakibat pada menipisnya cadangan dan rusaknya lingkungan hidup. Ditambah lagi, dengan harus hanya mengekspor bahan mentah, Indonesia tidak menikmati nilai tambah dari komoditas yang dijualnya. Indonesia juga kehilangan kesempatan memberi pekerjaan kepada warga negaranya di sektor olahan.

Dari sisi ini kehilangan kesempatan untuk mendapatkan nilai tambah bagi Indonesia menjadi besar. Dan ini juga menimpa negara-negara berkembang lain. Hal ini menjadi tantangan berikutnya bagi Indonesia dalam rangka mewujudkan perbaikan ekonomi di tahun 2011 ini.***

Penulis adalah Pemerhati ekonomi dan masalah sosial kemasyarakatan, tinggal di Medan.

Sumber dari http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=82408:harapan-perbaikan-ekonomi-2011&catid=78:umum&Itemid=139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar