oleh: Sigit Setyawan

Indonesia sedang dihadapkan dengan bencana alam. Dari banjir bandang di Wasior Papua, banjir di Jakarta, erupsi Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta serta Gempa dan Tsunami di Kepulauan Mentawai Sumatra Barat. Seakan semua terjadi seperti sebuah parade yang silih bergantian. Utamanya yang masih hangat menjadi sorotan publik maupun media adalah Gunung Merapi Yogyakarta dan Gempa Tsunami Mentawai. Secara geografis Indonesia memang tergolong wilayah dengan titik kerawanan bencana yang tinggi. Disamping kondisi alam di Indonesia yang berpotensi besar mendatangkan bencana. Disaat terjadinya bencana dalam suatu daerah perhatian utama selalu mengarah pada manusia. Artinya berapa korban yang meninggal dan berapa yang selamat dan membutuhkan pertolongan. Pemerintah dan elemen masyarakat notabene telah menyiapkan berbagai antisipasi penanggulangan baik sebelum bencana terjadi hingga saat bencana sudah terjadi. Namun masih saja sering terjadi kecolongan (banyaknya korban meninggal)

Kehadiran bencana alam bisa membawa dua dampak sekaligus. Yaitu dampak negatif dan positif. Kedua dampak ini selalu berhubungan satu sama lain. Pertama, dampak negative atau dengan kata lain kerusakan akibat bencana, biasanya bersifat kerugian secara fisik maupun nonfisik. Seperti korban jiwa yang berjatuhan, serta kerugian dari segi bangunan maupun material lainnya. Kemudian ditinjau dari dampak positif. Bencana ternyata bisa menjadi sarana penyadaran kepada manusia. Hal ini sangat erat kaitannya dengan aspek-aspek spiritual. Tidak sedikit orang menjadi sadar diri disaat peringatan Tuhan dengan bencana datang melanda dirinya. Terjadi perubahan watak dan sikap dalam dirinya. Juga di pihak lain, bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan sikap empati terhadap sesama manusia yang menjadi korban bencana.
Adanya wujud solidaritas atau bentuk kepedulian sesama disaat adanya bencana yang menimpa merupakan perilaku sosial yang berkembang di masyarakat pada umumnya. Dan hal tersebut tidak hanya ditemukan di Indonesia, namun semua masyarakat di Negara lain bisa dipastikan juga demikian. Tidak hanya kalangan pemerintah saja, melainkan segenap kalangan seperti mahasiswa, artis, hingga masyarakat biasa dalam berbagai strata social bisa kita dapati memiliki bentuk peduli terhadap sesamanya ketika bencana melanda saudaranya. Mengapa hal itu bisa ada? Karena sikap dasar fitrah manusia adalah orang yang mempunyai dua hubungan, pertama hubungan vertical. Biasa disebut dalam bahasa agama dengan Hablun Minallah. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Kedua, adalah hubungan horizontal atau bahasa agama menyebutnya dengan Hablun Minannas, hubungan manusia dengan manusia. Karena manusia pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri, tetapi harus bermasyarakat dan saling membutuhkan satu sama lain. Kedua hubungan tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan dan seimbang.
Kepedulian merupakan rasa yang timbul dari dasar hati yang lantas mampu menggerakan fisik untuk melakukan tindakan. Implementasi dari rasa peduli bisa berfariasi. Seperti di kalangan mahasiswa sering kita jumpai mereka melakukan aksi penggalangan dana di dalam kampus atau di jalan, bertujuan untuk membantu para korban bencana. Hal ini menjadi sikap pilihan sebagai wujud aplikasi rasa peduli terhadap saudaranya yang membutuhkan uluran tangan. Yang lain bisa kita dapati dengan menjadi relawan yang langsung terjun ke lapangan langsung, dan lainnya. Pada intinya, rasa peduli terhadap saudara lainnya adalah kemestian dalam setiap diri. Untuk itu perlu untuk terus ditumbuhkan dan direalisasikan dengan perilaku yang nyata. Semoga bencana yang sedang menimpa saudara-saudara kita memberikan rasa sadar kepada kita untuk memiliki sifat kepedulian social dan merasa empati kepada saudara kita.

http://sigitheart.wordpress.com/2010/11/04/bencana-alam-dan-kepedulian-sosial/